Nabi Idris disebut dalam al-Qur’an sebanyak 2 kali, yaitu pada surat Maryam 19: 56 dan surat al-Anbiya’ 21: 85. Nabi Idris termasuk yang jarang dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari. Kisah Nabi Idris tidak banyak disebut dalam al-Qur’an, kecuali lewat cerita Nabi Muhammad SAW.
Dalam Qasasul Anbiya’ disebutkan bahwa para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai lokasi Nabi Idris dilahirkan dan dibesarkan. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir dan dibesarkan di Mesir, tepatnya di kota Memphis (Manaf). Sebagian ahli yang lain berpendapat bahwa beliau dilahirkan di Babilonia, Kawasan Suriah-Irak sekarang ini. Setelah dewasa dan diangkat sebagai nabi/rasul barulah beliau berhijrah ke Mesir.
Nabi Idris sendiri mewarisi ilmu dari Nabi Adam dan Syis (putra Nabi Adam), yang masing-masing telah diberi suhuf (lembaran yang biasa digunakan untuk menulis). Oleh karenanya, Nabi Idris adalah orang yang memiliki banyak kepandaian. Ia pecinta ilmu dan kebenaran. Ia pelopor dalam beberapa ketrampilan dan bidang keilmuan (tulis menulis).
Meskipun dalam al-Qur’an disajikan sangat pendek, namun kisah Nabi Idris memberi kita beberapa pelajaran, antara lain, pertama : manusia dianjurkan untuk selalu belajar dari pengetahuan yang sudah ada. Pengetahuan dapat dibagi menjadi ilmu naqli (wahyu), ilmu ‘aqli (rasional) dan ketrampilan (teknologi). Nabi Idris sendiri sebagai orang mufasir (ahli tafsir) yang pertama dalam sejarah manusia. Beliau adalah manusia pertama juga yang pandai baca tulis dengan pena. Allah memberikan ketrampilan bagaimana merawat kuda, ilmu perbintangan, hingga ilmu berhitung yang sekarang lebih dikenal dengan matematika.
Kedua : manusia diajak untuk meyakini hal-hal yang ghaib yang diberitakan dalam al-Qur’an. Ia mendapat gelar ‘Asadul Usud” yang artinya singa, karena Ia tidak pernah putus asa Ketika menjalankan tugasnya sebagai seorang Nabi. Tidak pernah takut menghadapi umatnya yang kafir. Namun dibalik sifat yang pantang menyerah dan tidak penakut, Beliau juga sebagai orang yang memiliki sifat pemaaf.
Disebutlan dalam al-Qur’an, bahwa Nabi Idris diangkat ke tempat yang tinggi (ke langit atau surga). Dengan demikian beliau dalam keadaan hidup., tidak wafat. Dalam versi lain, Malaikat yang diutus Allah untuk mencabut nyawa Nabi Idris, ditunda. Malaikat lalu membawa Nabi idris ke langit.
Dialog antara Nabi Idris dan Malaikat.
Suatu Ketika, Malaikat Izroil minta ijin kepada Allah supaya bisa turun ke bumi dan akan menemui Nabi Idris, karena kangen. Allah mengijinkan kepada Malaikat, dan menjelma menjadi manusia biasa. Nabi Idris senang bukan kepalang mendapati manusia yang memiliki sikap sopan santun. Nabi Idris menerima dan menghormati orang tersebut sebagai tamu.
Tak terasa sudah empat hari mereka bersama. Karena sudah akrab, Nabi Idris mulai curiga dengan gerak gerik sang tamu. Karena Izroil adalah malaikat yang menjelma menjadi manusia, tapi sifat-sifat malaikat berbeda dengan manusia. Ia tak memiliki nafsu. Dengan rasa penasaran yang tinggi akhirnya Nabi Idris pun bertanya.
Nabi Idris: Ya Tuanku. Siapa sebenarnya Anda?
Malaikat Izroil: Maaf Ya Nabi Allah, Saya sebenarnya adalah Izroil.
Nabi Idris: Malaikat Izroil? Kau kah itu? Sang Pencabut Nyawa?
Malaikat Izroil: Benar, ya Idris.
Nabi Idris: Sudah empat hari Engkau bersama denganku. Apakah Engkau juga menunaikan tugasmu dalam mencabut nyawa makhluk-makhluk di dunia ini?