Kebaikan dan Kebahagiaan

Siapa yang tidak ingin berbuat kebaikan? Kata orang tua, kebaikan akan Kembali pada dirinya sendiri. Ibarat orang bercermin. Apa yang ditampakkan, apa yang dilihat. Tidak mungkin, yang ditampakkan buah apel, yang terlihat buah papaya.

Siapa yang tidak suka kebahagiaan? Kata orang, itulah yang dicari semua orang. Melihat orang Bahagia, sepertinya lebas dari beban apapun yang melekat pada dirinya. Orang yang berbahagia, melihat dunia ini seperti mengalir begitu saja. Menggelinding tanpa ada hambatan apapun.

Sebagai manusia yang dikaruniai akal dan rasa tentu mendambakan keduanya. Cuma nafsu yang bisa mengingkari kebaikan untuk mendapatkan kebahagiaan yang semu.

Ibnu Miskawaih, seorang cendekiawan Muslim yang komitmen terhadap filsafat akhlak, membedakan antara kebaikan dan kebahagiaan. Kebaikan (al-khair) menjadi tujuan bersama, kebaikan umum bagi seluruh manusia. Contoh membangun jembatan. Orang membangun jembatan agar orang lain dapat melewati dengan mudah dari satu tempat ke tempat lain. Maka yang didapatkan adalah kebaikan Bersama.

Kebahagiaan (al-sa’adah) lebih mengarah kepada orang perorang. Tidak bersifat umum, namun tergantung masing-masing orang. Misalnya pada saat Idul Fitri tiba. Setiap orang merasakan kebahagiaan dengan datangnya Idul Fitri. Namun yang dirasakan oleh setiap Muslim pasti berbeda.

Orang yang berakal tidak mungkin akan bergerak dan bekerja tanpa tujuan. Mereka sangat memperhitungkan setiap langkah, agar tujuan yang didambakan tidak sia-sia. Mungkin saja tujuannya adalah memperoleh materi. Bahagia secara materi tidak mutlak dibutuhkan. Karena sesungguhnya tujuan yang akan diraih adalah tujuan yang bebas dari berbagai ikatan kondisional.

Konsep kebahagiaan menurut Aristoteles adalah manusia tidak memerlukan apa-apa lagi. Ia mengakui bahwa tujuan akhir manusia adalah kebahagiaan. Sangat tidak masuk akal andaikatan bila manusia telah mencapai kebahagiaan, namun masih mencari hal lain dalam hidupnya. Dalam takaran kuantitas, bila sudah Bahagia, maka tidak perlu ditambah.

Para nabi diutus Tuhan tiada lain hanyalah untuk menyampaikan ajaran Syariat yang memerintahkan untuk memperoleh kebaikan dan menjauhi keburukan, agar manusia mendapatkan kebahagiaan. Orang yang mencapai kebahagiaan, jiwanya akan tenang, merasa selalu berdampingan dengan malaikat. Baginya, tidak menjadi masalah andai dunia datang kepadanya atau meninggalkannya. Dia tak akan merasa sedih berpisah dengan orang yang dicintainya.