Layang-layang

sumber gambar : https://milenialis.id/3-cara-meraih-kebahagiaan-selain-bersenang-senang/

Hari-hari ini langit sudah mulai dipadati dengan layang-layang. Tandanya musim kemarau tiba. Angin diwaktu pagi dan sore hari cukup kencang. Pepohonan tampak mulai membentuk parabola diterpa derasnya angin. Anak-anak hingga orang dewasa mulai memadati area persawahan di belakang rumahku. Mereka tak menghiraukan lalu lalang orang lewat. Mereka konsentrasi menatap awan, sambil mengendarai layang-layangnya.

Dahulu, sebelum listrik masuk desa, musim layangan seperti bermain di surga. Di sudut manapun, kami dapat memainkan benang dengan jemari. Dari halaman rumah, jendela, atap, bahkan dari pohon, ketrampilan memainkan layang-layang tak terkira. Namun, setelah ada tali tembaga yang menghubungkan rumah ke rumah, yang membentuk jaring-jaring bagai kandang laba-laba, kebebasan kami jadi terbatas. Surga yang terbelah. Saya dan kawan-kawan harus mengungsi ke sawah untuk menghindari jeratan kawat listrik.

Bermain layangan adalah sikap kelaki-lakian. Manakala layangan telah naik, maka hanya ada dua pilihan. Membunuh atau dibunuh. Kecuali yang ada ekornya. Di komunitas kami, layang-layang berekor dianggap masih kelas Taman Kanak-kanak. Nilainya nol. Bila sampai memutuskan layangan berekor berarti pelanggaran. Tidak ada hukuman, tapi memalukan. Beraninya cuma dengan anak kecil

Bila semua jago-jago telah menari-nari di angkasa, melesat tinggi kemudian menukik tajam layaknya pesawat F-19, maka pertarungan segera mulai. Aneka warna kertas melukis awan biru. Berbekal benang yang dilumuri tepung dan tumbukan kaca halus, berharap agar dapat menggunting benang lawan. Sang lawanpun tak gentar. Ia memiliki modal benang gelasan toko, artinya membeli dari toko. Tak perlu repot-repot menumbuk kaca, melumuri tepung, mewarnai, mengeringkan, bahkan mungkin terhindar dari tajamnya benang yang mengakibatkan jari sobek.

Bila layang-layang sudah berakting, saling mengejek seperti ayam jago yang akan beradu, dimulailah area pembantaian. Kalau tidak berani, berarti harus melarikan diri dari daerah pertarungan. Mencari sendiri tempat yang aman. Tidak ada aturan, harus satu lawan satu. Dapat bertiga atau lebih. Intinya, berani masuk berani hilang atau menghilangkan.

Saat layang-layang sudah beradu, disinilah pembuktian benang siapa yang paling tajam. Benang siapa yang dapat memotong lawan. Bukan hanya benang, kepandaian sang nahkoda dalam memainkan jemari. Secara nalar, pilot yang jam terbangnya tinggilah yang akan keluar sebagai jawara. Tapi belum ada jaminan. Sebab lambaian layang-layang ditentukan oleh angin, tangan pengendali dan tempat kendali.

Ada selebrasi bagi layang-layang pemenang. Sesaat setelah benang berhasil memukul mundur lawan, Ia akan mengepakkan sayap terbang ke atas. Mengejek lawan hingga benang seperti mendekati sembilan puluh derajad. Ia akan menari kekanan dan kekiri sebagai tanda jawara. Sebaliknya, layang-layang yang putus, ia menjadi milik umum. Pemilik tidak boleh mengklaim bahwa layang-layang tersebut masih miliknya. Layang-layang yang putus menjadi tak bertuan. Boleh diperebutkan siapa saja. Disinilah sesungguhnya kehebohan bermain layang-layang. Berburu layangan putus.