Garis Takdir

sumber gambar : https://wallup.net/landscape-road-19/#google_vignette

oleh : Silla Agustin

Gumpalan kapas putih tak beraturan dan selembut sutera saling berdesakan pada bentangan biru di atas sana, sebagai pertanda kebesaran dari Sang Maha Kuasa. Gumpalan tersebut saling melaju, mengisi setiap ruang kosong dengan bertemankan sinar mentari di pagi hari. Hari ini, tak mendung juga tidak terlalu panas. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dengan kanan kiri dipenuhi semak belukar yang tumbuh liar. Jalanan desa masih sama seperti semula, tak ada bedanya. Jalan gula kacang orang sering menyebutnya. Aku menggendong tas berwarna hitam yang mulai kelabu dengan lubang di beberapa bagian. Sedangkan tangan kanan dan kiriku telah dipenuhi dengan baskom transparan berisikan risol mayo dan tahu bakso. Sepatu yang mulai rusak tak menjadi halangan untukku menimba ilmu. Aku yakin, Allah akan memberikan jalan untuk hamba yang selalu berusaha, berada di jalannya.

Sesosok yang tak asing bagiku tengah berjalan dengan sekelompok remaja lainnya. Aku menatap mereka tanpa mengedipkan mata, seragam lusuh dan warnanya yang tak putih lagi membuat mereka menatapku seperti tatapan intimidasi. Arinda, gadis populer di sekolah tempat aku menimba ilmu menatapku, menelanjangiku dari ujung rambut hingga ujung kuku. Aku hanya bisa melayangkan senyum tipis kepada mereka, sesekali aku mengangguk. Namun, mereka menanggapiku dengan tatapan sinis dan meremehkan. Aku pun mendengar satu dari mereka mengejek dan menghina abahku. Sakit. Sungguh, perkataan lirih itu menohok tepat relung hatiku. Sedetik kemudian, cairan bening memenuhi pelupuk mataku sehingga membuat penglihatanku buram. Hanya dengan sekali kedipan mata, bening itu luruh bersamaan dengan hatiku. Aku memejamkan mata sekejap, baskom isi tahu bakso kuletakkan di atas jalan yang masih terbuat dari tanah bercampurkan batu. Tangan kiriku meremas dada dengan erat. Ya Rabb, bukan abah tak mampu membelikan aku sepatu dan tas. Namun, sekedar untuk makan sehari-hari saja aku sangat bersyukur.

Kini aku menghela napas yang kian menyesakkan, dalam hati aku memperbanyak merapalkan istighfar. Perlahan, aku mulai menetralkan suasana hatiku. Bukankah Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya?

“Berdoalah kepada Allah. Jangan biarkan kesulitan membuatmu gelisah karena bagaimanapun juga hanya di malam yang paling gelap, bintang-bintang tampak bersinar terang.” Aku sedikit terperanjat sedikit terkejut, di detik kemudian aku membuka kelompok mata yang sudah dipenuhi cairan transparan di pipi. Jangan tanyakan kapan aku menangis, karena aku juga tak tahu.

Sesosok yang berdiri di belakangku menyodorkan sebotol air mineral, kepalaku perlahan mulai menunduk, melihat tangan yang menyodorkan sebotol air mineral kepadaku. Sontak, aku melirik pada sosok tersebut dan…

“Bobby?” Pemuda itu adalah teman satu kelasku. Dengan cepat aku mengelas jejak bening yang bersarang di pipi. Sampai saat ini aku masih tak menyentuh sedikitpun benda tersebut. Benar, aku membiarkannya mengambang di udara begitu saja. Ia berjongkok dan mengambilkan barang dagangan yang kuletakkan tak jauh dari aku berdiri. Payah! Aku hanya bisa menundukkan kepala sembari meremas jemari yang saling bertautan satu sama lain.

“Apakah benar ini Inayah? Sepertinya Inayah yang dulu kukenal tak seperti ini. Dia gadis yang tegar, pekerja keras … dia juga bukan tipe gadis cengeng.” Pemuda itu menyilangkan kedua tangan, mengernyitkan dahi sehingga kedua alisnya menyatu. Aku hanya diam seribu bahasa tak juga bergeming. Setelah seperkian lama diam membisu, aku mengerjapkan mata beberapa kali, memalingkan wajah dan berlalu pergi.

“Hei, Inayah!” Pemuda itu berlari mengejarku. Oh tidak, ketika aku menengok ke belakang, larinya begitu cepat hingga jarak kita berdua sangat dekat. Aku berlari kecil dengan jantung yang berdetak begitu kencang. Terasa begitu kentara. Di detik yang sama, sebuah telapak tangan berhasil mengamit pergelangan tanganku.

Aku terjingkit, seperti ada aliran listrik yang menyengat menjalar ke seluruh tubuhku. Sungguh, adakah yang membawa kaca? Aku ingin bercermin, melihat kondisi wajahku. Merona ataukah berubah pucat pasi. Aku segera membalikkan badan, melepaskan genggaman itu, dan di detik kedua tubuhku sedikit meringkuk ketakutan. Entahlah, aku pun tak tahu sebab aku takut berada di dekat Bobby.

“Jangan takut, aku hanya ingin memberikan brosur ini,” Tangannya mengambang di udara dengan brosur yang dipegangnya. Aku menatap lekat, ketika aku menatap wajah Bobby, terlihat pemuda itu menganggukkan kepala pelan, meyakinkan aku untuk segera mengambilnya. Dengan jemari yang mulai bergetar, aku meraih brosur tersebut. Ternyata itu adalah brosur pengumuman lomba cerita pendek.

“Ikutlah lomba ini, kamu suka menulis bukan?” Hatiku berbunga-bunga. Seperti ada kupu-kupu yang tengah menggelitiki perutku. Bibir merah mudaku menyunggingkan senyum manis. Benar, ini adalah kesempatanku untuk mengasah kemampuan yang selama ini aku punya. Mungkin ini adalah suatu petunjuk yang Allah berikan kepadaku. Atau tidak, ini adalah jawaban atas doaku selama ini. Semoga dengan aku mengikuti lomba ini, bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Aku akan terus berusaha, masalah hasil aku serahkan sepenuhnya kepada Sang Khaliq. Bukankah janji Allah itu nyata? Karena sesungguhnya Allah memberikan apa yang kita butuhkan dan bukan yang kita inginkan. Seperti yang Allah sampaikan dalam QS: Al Baqarah 2:216. “Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu.”

Setelah aku mengucapkan terima kasih dan pemuda itu pun membalasnya, aku bergegas menuju ke sekolah dengan berlari kecil. Aku sudah tak sabar untuk menulis cerita pendek yang alurnya telah ada dalam otakku. Sejak saat itu, aku bertelad untuk menang. Tidak terasa, langkah kecil itu membawaku pada ielas sepetak yang di dalamnya telah banyak siswa-siswi. Jam dinding yang bertengger menunjukkan pukul tujuh, tetapi guru mata pelajaran saat itu belum memasuki kelas. Aku memutuskan untuk menulis sedikit cerita pendek, supaya nantinya bisa segera kukirim ke Bobby. Ya, aku ingin meminta bantuan pemuda itu untuk mengirimkan karyaku, mengingat bahwa aku tidak punya gawai ataupun laptop. Akan tetapi itu tidak menyurutkan semangatku dalam menimba ilmu.

Waktu bergulir begitu cepat, hingga akhirnya aku meminta bantuan untuk mengirimkan karyaku. Semua berjalan lancar, kini aku tinggal berdoa sampai esok hari menyapa. Benar, besok adalah pengumuman pemenangnya. Oh Allah, aku sudah tidak sabar. Rasa ini tak karuan, senang dan tegang. Seluruh tubuhku gemetar hingga malam menyapa, aku tak dapat memejamkan mata. Aku memutuskan untuk mengadu dan meminta pertolongan pada Allah, setelah itu kubuka alquran kecil pemberian almarhumah ibuku, kulafalkan kalam indah Ilahi, tanpa kusadari aku terlelap dan tertidur dalam sajadah panjang berwarna merah.

Mentari bersinar, membuat aku terjaga dari tidur, posisiku masih sama, masih dengan mukena yang melekat di tubuh. Hari minggu ini aku dikejutkan dengan ketukan pintu kamar yang ternyata itu adalah abah. Sumber kebahagiaanku itu menggamit pergelangan tanganku dan membawaku keluar. Betapa terkejutnya aku ketika sesosok pemuda berkaca mata telah mendudukkan diri pada kursi sederhana yang tersedia. Aku disambut dengan senyuman gembira, entahlah, aku tak tahu apa maksud senyuman itu. Namun, pemuda itu menjabatkan tangannya dan berkata, “Selamat ya atas kemenangannya.”

Mataku membelalak. Menang? Benarkah ini? Cerita yang kukirim semalam berhasil menyentuh hati para dewan juri? Aku masih tak percaya, sampai akhirnya abah merapalkan hamdalah, sujud syukur dan memeluk aku yang masih mematung di tempat. Aku tak dapat mendeskripsikan betapa bahagianya aku pada hari itu. Semua ini atas izin Allah, qadarullah. Hidup adalah sebuah perjalanan. Perjalan panjang yang kita lalui baik itu mulus ataupun kusut. Kita tak dapat menghindarinya karna hidup sudah menjadi takdir manusia. Tinggal kembali lagi pada diri kita, apakah kita bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan atau malah khufur.

Kita adalah pengontrol hidup. Pengontrol jalan, jalan mana yang akan kita pilih? Apakah jalan mendaki atau jalan tol? Semua itu kita yang putuskan. Hidup layaknya perjalanan panjang yang kita lalui, mulai dari kita lahir ke dunia sampai sekarang demi untuk tercapainya tujuan. Dari perjalanan itulah kita bisa melihat apakah kita akan bersunguh-sungguh berusaha atau malah menghilang. Sungguh bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kesabaran yang sempurna adalah saat manusia tertimpa musibah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Jika hidup yang kau jalani saat ini begitu penat, bahkan hampir putus asa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Dan pahala orang yang sabar itu adalah tanpa batas. Wahai diri, bersabarlah sebentar saja. Di depan sana sudah Allah siapkan sesuatu yang begitu indah untuk kau nikmati, selepas kesabaran-kesabaran panjang yang telah kaulalui. Maka Benar, Allah bersama orang-orang yang sabar. Hanya kepada Dia lah kita bersandar. Sebagimana hanya Dia yang akan mengabulkan segala pinta, sebab hanya janji-Nya pula yang seharusnya kita percaya. Janji-Nya adalah pasti, tak pernah Dia mengingkari. Janji-Nya selalu indah, seperti sekenario-Nya yang pasti jauh lebih indah dibanding sekadar rencana manusia.

17 September 2023

sumnber link : http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/garis-takdir-2.html

Cerpen Karangan: Silla Agustin
Blog / Facebook: @ftm4wt_
Umur: 17 tahun
Status: Pelajar
Hobi: Menulis
Aktivitas saat ini menulis novel dan artikel (di Medium)
Cita-cita: Filsafat/Sastra Arab