oleh : Hanik Alina
Andre tak pernah mengira pertemuanku dengan Alin sore itu mengantarku pada suatu pemahaman hakiki tentang agama yang selama ini dianggap sebagai agama teroris.
Andre memandang gadis yang duduk di meja seberang. Ia yakin sekali gadis itu adalah gadis yang bertabrakan dengannya saat pertama kali menginjakkan kaki ke kampus ini. Dia yang menunjukkan ruang administrasi. Pertolongan yang sangat tepat sebelum registrasi mahasiswa ditutup. Ya… hari itu hari terakhir registrasi.
Andre mengayunkan kakinya riang. Ia mau menyapa gadis berhijab itu sekalian berterima kasih. Namun, dia mengurungkan niatnya. Gadis itu berdiri setelah menerima telepon. Langkahnya tergesa-gesa keluar perpustakaan. Diam-diam Andre mengikutinya. Gadis yang belum ia ketahui namanya itu menaiki sebuah angkot.
“Ojek!” teriak Andre pada seorang pengendara motor yang mengenakan jaket ojol. Ia meminta ojol tersebut untuk mengikuti angkot tersebut.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah sakit setelah hampir kehilangan jejak. Setelah dari meja resepsionis ia berjalan cepat menelusuri lorong dan kini mereka sampai di depan ruang IGD. Andre menjaga jarak aman dengan gadis di depannya. Gadis itu menubruk salah satu brankar di salah satu bilik setelah membuka kain penutup jenazah di brankar tersebut. Perlahan Andre mendekati gadis yang tengah sesenggukan hingga pundaknya berguncang hebat. Ia memegang pundak gadis itu pelan.
“Adalah yang bisa aku bantu?” tanyanya sesaat setelah gadis itu menoleh.
“Beliau ayahku. Keluargaku satu-satunya.” ucapnya serak, “tunggulah di sini. Aku akan mengurus ambulan dan lainnya.”
“Biar aku yang urus. Kamu di sini saja.” ucap Andre. Rumah sakit ini adalah rumah sakit tempat ayahnya bekerja. Sepertinya tidak sulit untuk meminta bantuan padanya. Dia hanya perlu menyingkirkan egonya. Entah, rasanya ia tak tega melihat gadis itu.
Setelah perdebatan panjang berakhir janji pulang ke rumah, Andre mendapatkan ambulan untuk mengusung jenazah ayah gadis itu. Kali ini ia tak akan lupa menanyakan namanya hari ini. Mereka berdua naik ke ambulan. Entah mengapa Andre tak sampai hati meninggalkan gadis itu.
“Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Andre melihat gadis di sebelahnya sudah lebih tenang.
“Ayah korban tabrak lari.” jawabnya pendek.
“Aku Andre, cowok yang waktu itu kamu antarkan ke ruang administrasi.” kata Andre memperkenalkan diri.
“Saya Alin.”
“Terima kasih atas bantuannya. Waktu itu aku belum sempat bilang.” lanjut Andre.
“Terima kasih juga. Hari ini kamu telah banyak membantu saya.” balasnya.
Keduanya diam hingga sampai di depan rumah sederhana terbuat dari papan namun asri. Dengan bantuan para tetangga, pemakaman ayah Alin berjalan dengan lancar.
Andre masih belum mau pergi dari rumah Alin. Gadis itu benar-benar sendirian. Tidak ada sanak famili dan kerabatnya. Ponsel di saku celananya berdering berkali-kali. Pasti itu dari papanya yang menagih kompensasi ambulan. Secercah ide tiba-tiba muncul di benaknya. Andre mengangkat ponsel dan berkata dengan orang di seberang.
“Andre mau pulang tapi Andre tidak sendirian. Andre bawa teman. Orangtuanya baru saja meninggal dan dia sendirian.” ucapnya.
Lelaki di seberang mengeryitkan jidatnya. Tumben anak lelakinya menjadi peduli.
“Oke. Papa tunggu.” Andre tersenyum mendapat jawaban tersebut.
“Alin, sebelumnya aku minta maaf. Mungkin ini terlalu aneh buatmu. Bagaimana kalau kamu tinggal di rumahku sementara waktu? Kamu sendirian di sini. Tidak ada yang menjagamu. Aku memang bukan siapa-siapa tapi setidaknya di rumahku ada beberapa orang yang bisa…”
“Maaf, saya tidak apa. Kamu pulang saja. Sudah malam nanti menimbulkan fitnah.”
“Alin, setelah melihat foto itu, aku tahu kenapa aku mengkhawatirkanmu. Kamu adikku yang hilang. Kamu lihat anak laki-laki di sebelahmu itu? Itu aku. Lihat foto ini. Sama kan?” kata Andre sambil memberikan foto dari dompetnya. Alin menerima foto itu. Tapi keadaannya berbeda di sekarang muslimah sementara keluarganya nasrani.
“Aku juga mengikutimu beberapa kali. Aku tahu sekarang keyakinan kita berbeda dan itu menjadi beban pikiran kamu. Aku kakakmu tetap menerimamu. Nanti akan aku jelaskan ke papa.” Alin diam mendengar penjelasan Andre. Semua terjadi secara tiba-tiba. Otaknya tidak bisa mencerna semua dengan baik.
“Yuk, papa sudah menunggu.” Alin tidak bisa menolak. Selama ini, ia juga mencari keberadaan keluarganya. Awalnya Alin disambut dengan sukacita. Namun, setelah menyadari adanya perbedaan keyakinan, mereka menjaga jarak dengan Alin kecuali Andre. Kakak pertama Alin tetap meyakinkan bahwa keluarganya menyayangi Alin. Mereka hanya perlu adaptasi saja.
Andre yang semula diminta papanya untuk memengaruhi Alin justru terjebak pada satu kenyataan bahwa Islam agama yang universal tidak membeda-bedakan pemeluknya dan memiliki toleransi yang tinggi. Terlebih melihat perangai Alin yang mencerminkan amaliyah seorang muslimah. Tak hanya itu, mereka sering terlibat perdebatan sengit yang tentunya tidak bisa dibantah oleh Andre. Hingga suatu hari akalnya menerima logika sederhana tentang konsep ketuhanan dalam Islam dari surat Al-Ikhlas. Logikanya tidak bisa membantah dan ia memutuskan untuk bersyahadat tanpa sepengetahuan orangtuanya. Jamaah masjid di kampus mereka menjadi saksi Andre menjadi seorang muallaf.
Perubahan perilaku Andre akhirnya menarik perhatian papa dan anggota keluarga lainnya. Dalam pandangan mereka Andre lebih pandai mengendalikan marah dan yang paling mencolok dia tak pernah lagi pulang malam dalam keadaan mabuk. Tanpa sengaja papa dan mamanya mengetahui Andre telah menjadi muallaf. Hal itu, tentunya membuat papa dan mamanya kecewa. Namun, mereka tak berdaya. Andre membuat logika mereka berhenti yang membenarkan setiap penjelasannya tentang keesaan Allah.
Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-20. Papa dan mama mereka menyampaikan niat mereka untuk menjadi muallaf. Alin bersujud. Tiada lagi penghalang antara ia dan keluarganya.
Sumber link : https://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/hadiah-untuk-alin.html