Kebudayaan Jawa dalam Pusaran Arus Globalisasi

sumber gambar: https://kumparan.com/viral-food-travel/festival-budaya-jawa-tengah-jantungnya-budaya-jawa-1yYKBiwX2H1

“Ngono yo ngono ning ojo ngono”, “alon-alon waton klakon”, “wong urip mung sawang sinawang” adalah beberapa kosa kata yang sudah mulai dilupakan oleh generasi muda. Mereka lebih mengenal kalimat “time is money”, “I love you”, “mensana incorpore sano”. Kosa kata dalam bahasa Jawa yang sarat makna dalam kehidupan sudah mulai terkikis dalam arus globalisasi. Kehadiran budaya asing bagaikan air bah yang tidak mungkin dapat dibendung. Siapapun yang masih mampu merasakan denyut kehidupan, pasti  akan menghirup budaya globalisasi.

Laju modernisasi semakin merajalela karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya teknologi informasi. Di satu sisi laju informasi sangat terasa manfaatnya, namun di pihak lain teknologi informasi bagaikan sebuah pisau tajam yang akan menghujam di ulu hati, sehingga manusia terkapar dan hanyut dalam pusaran modernisasi. Ia bagaikan sebuah buih yang terus diombang-ambingkan dalam gelombang kehidupan. Manusia yang demikian tidak ubahnya seperti robot yang telah diprogram untuk melaksanakan keinginan orang lain.

Unggah-ungguh/kosa kata yang disebutkan diatas, sebenarnya bukan sekedar kata tak bermakna. Ia bahkan bukan hanya susunan kata yang hanya membentuk kalimat yang enak kedengarannya. Tetapi kosa kata yang penuh filosofis dan telah teruji dapat membentuk ketahanan mental dalam mengarungi kehidupan.

OrangJjawa khususnya, adalah orang yang mampu berdialog dengan alam semesta. Mereka dapat membaca perilaku alam. Sehingga kedudukan manusia menjadi seimbang. Selaras. Manusia menghormati alam. Alampun akan memberikan timbal balik kepada manusia yaitu keserasian. Alam tak segan untuk memberikan yang terbaik buat manusia.

Dari hubungan manusia yang serasi dengan alam, manusiapun mengapresiasikan keselarasan kepada manusia yang lain. Bahwa manusia pada dasarnya sama. Tak ada yang lebih tinggi dan tak ada yang lebih rendah. Manakala ia memperoleh kelebihan, maka dengan senang hati ia akan berbagi kepada orang yang kekurangan. Manakala ia memiliki ketrampilan, dengan hati yang ikhlas berbagi ia tularkan kepada orang lain. Itulah hubungan timbal balik antar manusia. Sifat-sifat yang demikian itu melahirkan kosa kata yang penuh filosofi dan bermakna.

Apakah unggah-ungguh yang demikian adi luhung dapat diterapkan oleh generasi sekarang? Nampaknya jauh panggang dari api. Mungkin kosa kata itu hanyalah kata yang masuk dalam kurikulum pendidikan bahasa jawa. Cuma dihafal untuk memperoleh nilai belaka. Dilihat dari pola hubungan antar manusia yang bisa kita rasakan saat ini, nampaknya unggah-ungguh hanya menjadi sebuah deretan huruf. Pas benar dengan semangat modernisasi yang mengusung hedonisme, egois, mau menangnya sendiri.

Sebagai manusia yang berbudaya tentu kita tidak akan membiarkan suasana yang demikian. Terbukti bahwa arus globalisasi tidak semuanya dapat mengantarkan pada kehidupan yang lebih baik. Modernisasi juga tidak seluruhnya memberi manfaat untuk kalangan kita. Kata yang bijak adalah tidak mengambil makna modern secara keseluruhan, namun tidak menghilangkan semua unggah-ungguh. Menata kehidupan yang lebih baik adalah dengan upaya memanfaatkan intisari dari berbagai macam arus budaya.