“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” al Mu’minun 1 – 4
Membayar zakat merupakan salah satu rukun Islam. Zakat tidak untuk menunjukkan status sosial. Zakat merupakan bukti nyata dan indikasi sebagai orang yang beriman kepada Allah swt . Mereka dijamin oleh Allah yang akan mendapatkan kemuliaan dan keberuntungan bahkan kesuksesan yang besar. Keberuntungan dunia dan akhirat.
Istilah aflaha bentuk fi’il madhi dari kata falah. Kata falah sendiri berasal dari kata falaha, yaflahu, falhan, wa falahatan yang berarti hasil baik, sukses, atau memperoleh apa yang dikehendaki. Menurut Dr Atabik Lutfi MA dalam Tafsir Tazkiyah, setiap ayat yang menggunakan istilah aflaha, mengandung makna keberhasilan dan keberuntungan yang berorientasi pada kehidupan dunia dan akherat.
Kehidupan dunia mencakup panjang usia, kekayaan, dan kemuliaan. Sedangkan kehidupan akhirat meliputi kekekalan tanpa kepunahan, kekayaan tanpa kebutuhan, kemuliaan tanpa kehinaan. Kemuliaan ini terdapat dalam al Quran khususnya surat : Thaha : 64, al Mu’minun : 1, al A’la : 14 dan asy Syam : 9. Keempat ayat tersebut diawali dengan kata qad yang artinya sungguh, yang berarti menunjukkan makna kepastian.
Istilah zakat dapat juga bermakna takziyah atau menyucikan. Sehingga secara sederhana bahwa orang yang mengeluarkan zakat berarti menyucikan harta benda miliknya. Harta yang semula bercampur dengan harta yang menjadi hak orang lain, menjadi bersih. Suci yang berarti bukan hanya bersih hartanya, namun juga suci ruhaninya.
Seorang muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), secara psikologis akan mampu mendidik pribadi menjadi orang yang mulia, kepedulian sosial yang tinggi, dan memiliki rasa solidaritas terhadap sesama. Sifat-sifat ini tidak serta merta datang begitu saja. Menjadi orang peduli datang dari latihan secara terus-menerus. Mengacu pada teori belajar, bahwa sebenarnya setiap orang dalam kondisi belajar sampai ajal menjemput. Tak ada kata selesai dalam mengais belajar.
Disisi lain, orang yang berhak menerima zakatpun akan segera merasakan manfaatnya. Mereka merasa senang dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Bila zakat tidak dibayarkan, maka akan terjadi ketimpangan sosial. Dari sini timbul penyakit sosial dan kejahatan sosial. Tekanan sosial ekonomi sewaktu-waktu dapat meledak, seperti penipuan, pencurian, dan penyakit sosial lainnya.
Dengan demikian, konsep Islam menjadi penengah dari dua kutub yang sangat berpengaruh yaitu sosialis-komunis dan kapitalis-liberalis. Sosialis-komunis menekankan kehidupan yang sama rasa-sama rata. Kalau kaya, kaya bersama dan kalau miskin, miskin bersama. Sementara kapitalis-liberalis menekankan kehidupan untuk menguasai seluruh kekayaan dan mengesampingkan orang lain-persaingan bebas.
Sementara Zakat menekankan bahwa manusia boleh memiliki kekayaan, tapi juga harus mengeluarkan zakat kepada fakir-miskin dan asnaf yang lain. Di sinilah letak zakat sebagai basis keadilan sosial.