Pahala dan Dosa

“Barangsiapa melakukan kebaikan sebesar zarrah pun dia akan melihat hasilnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrahpun dia akan melihat hasilnya.” (Zalzalah : 7-8)

Istilah pahala dan dosa sudah lama kita kenal, bahkan sejak kita masih usia belia. Orang tua sering memberi ultimatum dengan sebuah kata yang pendek tapi serasa godam. Pahala atau dosa. Ketika menirukan kebaikan apa yang dicontohkan orang tua, seketika pujian meluncur akan mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila kita melakukan yang melanggar norma agama, seketika akan di cap berbuat dosa.

Kata pahala dan dosa memang menjadi salah satu motif seseorang untuk menjalankan ajaran agama. Kita tentu masih ingat cerita-cerita yang disampaikan ustadz di surau mampu menggerakkan hati untuk melaksanakan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Cerita seorang ustadz juga mampu seorang anak berfikir nalar. Anak-anak menjadi semangat dalam belajar, memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan saling tolong menolong. Tidak heran bila para alumni langgar atau musholla mampu merekatkan hati hingga usia dewasa.

Kata ustadz, apabila kita melakukan sholat secara berjamaah akan mendapatkan pahala 27 derajat, dan bila melakukan sholat sendiri hanya memperoleh satu derajat. Di waktu lain, Ustadz juga menasehati agar anak-anak tidak boleh membantah perintah orangtua, terutama ibu. Perbuatan semacam itu berdosa. Tentu masih banyak cerita lain yang bernilai pahala dan dosa.

Ustadz memotivasi anak-anak agar selalu taat menjalankan perintah agama, dan meninggalkan larangan-Nya. Saat beranjak dewasa, cerita itu tentu tidak relevan lagi bila dikaikan dengan hitungan. Perilaku beragama bagi orang dewasa lebih diutamakan kualitas. Pahala dan dosa hanya sebagai pintu masuk saja. Supaya seseorang taat menjalankan perintah agama. Setelah taat, pemahaman seseorang meningkat dan berkembang. Mereka lebih mementingkan kemaslahatannya.

Hitung-hitungan pahala sudah bukan menjadi alasan utama. Membayar zakat yang hanya sekitar tiga kilogram, harus dipahami bahwa masih adakah tetangga yang masih kelaparan. Mendirikan sholat berjamaah tak lagi butuh 27 derajat. Didalamnya ada nilai silaturahmi yang kita dapatkan. Bertemu dengan banyak orang dalam keadaan sehat, itu bernilai ibadah. Besuk orang sakit, bukan lagi menimbang apa yang kita bawa, namun nilai sehat ternyata sangat mahal harganya.

Pahala dan dosa bukan lagi pembatas yang ekstrim antara yang diperintahkan atau dianjurkan dengan yang dilarang. Nilai yang terkandung pahala dan dosa, menjadikan seorang muslim mampu mengembangkan sehingga menjadi kemaslahatan umat.