oleh : Hernowo
Kebermaknaan hidup saya dapat tampil secara luar biasa karena saya memiliki dua kekayaan emosi: empati dan motivasi. Empati berkaitan dengan kehidupan bersama, kehidupan yang melibatkan seluruh manusia di muka bumi ini; sementara motivasi berkaitan dengan diri-lebih-dalam (inner self) masing-masing orang. Saya merasakan, betapa akan sangat kering kerontang dan membosankannya hidup jika tidak disentuh oleh empati dan motivasi. Saya juga meyakini–sebagaimana ini diyakini oleh Eric Jensen, penulis Brain-Based Learning–bahwa hanya emosi yang dapat memberi arti.
Hanya emosi yang dapat memberi atau menghadirkan arti? Betapa sulitnya memahami hal ini. Betapa tidak mudahnya saya memaknai soal ini. Dan betapa bingungnya saya untuk membiasakan diri saya untuk menerima bahwa emosi itu akan banyak sekali memberikan arti kepada diri saya. Mengapa? Sebab emosi ini agak sulit dipahami dalam konteks yang rasional. Emosi bukan berada di wilayah belahan otak rasional. Emosi berada jauh di sistem limbik.
Memang, ada orang yang menunjukkan bahwa emosi kadang muncul di belahan otak kanan–sementara itu, hal-hal rasional berada di belahan otak kiri. Okelah, batin saya, memahami letak emosi berkaitan dengan organ di kepala yang di organ tersebutlah memang emosi diproduksi, menjadi sangat penting. Sebab dengan memahami di mana posisi emosi akan membuat seseorang yang mampu memahami hal tersebut akan lebih menyadari bahwa dirinya memang memiliki potensi yang dahsyat ini.
Nah, dalam konteks pembahasan saya ini, saya hanya ingin mengajak para pembaca untuk meyakini bahwa emosi itu sangat berarti. Setiap diri kita memiliki emosi yang mampu menghadirkan arti. Tidak soal apakah kita ingin melacak keberadaan emosi secara fisik atau tidak, yang penting yakinlah bahwa emosi itu kita miliki. Dan peran penting emosi dalam sebuah kehidupan–apalagi kehidupan yang tampil sebagaimana sekarang ini: kompleks, ruwet, dan berubah-ubah dengan sangat cepat–yang bermakna sungguh sangat penting.
Sebagaimana saya tunjukkan dalam tulisan saya sebelum ini bahwa dua kata yang mengiringi pentingnya arti emosi–empati dan motivasi—telah membantu saya dalam mengelola diri saya. Mengelola diri, sekali lagi, bukan pekerjaan yang mudah. Namun, setelah saya berkenalan dengan makhluk bernama “empati” dan “motivasi”, saya benar-benar tersadarkan bahwa inilah “alat” yang layak saya gunakan ketika saya ingin mengelola diri saya. Saya yakin sekali bahwa–tentu dengan memanfaatkan potensi lain yang ada di dalam diri saya–berbekal empati dan emosi, hidup saya akan lebih membaik ketimbang sebelumnya.
Empati berkaitan dengan kecakapan sosial. Empati ini adalah semacam kemampuan kita merasakan penderitaan orang lain. Empati bukan simpati. Empati, bagi saya, adalah simpati yang kadarnya lebih tinggi. Empati mampu membawa kita untuk benar-benar menghayati apa yang dialami oleh orang lain, terutama berkaitan dengan penderitaan. Lewat kemampuan berempatiklah seseorang akan dapat membantu secara ikhlas kepada orang yang memang memerlukan bantuan. Dan semua ini perlu dilatih–artinya kemampuan berempatik tidak datang dengan sendirinya ke dalam diri kita.
Motivasi berkaitan dengan kecapakan personal. Motivasi adalah “api” yang akan membakar diri kita agar diri kita bersemangat untuk memperbaiki diri. Motivasi saya istilahkan dengan “api” karena motivasi memang harus dinyalakan oleh sang diri. Benar, kadang kita dapat termotivasi oleh hal-hal di luar diri kita. Namun, “api” yang sesungguhnya hanya ada di dalam diri. Jika kita mendapatkan pengaruh yang membangkitkan dari luar diri, maka sebaiknya itu kita gunakan untuk menyalakan “api” yang ada di dalam diri.[]