oleh: DR Khoiruddin Bashori
Otak manusia terdiri dari tiga lapisan evolusioner:
- Otak Reptil (Brainstem), bertanggung jawab atas naluri bertahan hidup (fight, flight, freeze), agresi, dan kebutuhan dasar.
- Sistem Limbik (Amygdala, Hippocampus), yang mengatur emosi, memori emosional, dan respons stres.
- Neokorteks (Prefrontal Cortex), pusat berpikir rasional, perencanaan, pengambilan keputusan, dan regulasi diri.
Ketika seseorang tidak “mengolah rasa” (melatih regulasi emosi), sistem limbik dan otak reptil (naluri primitif) dapat mendominasi neokorteks. Saat marah misalnya, amygdala mengaktifkan respons “fight-or-flight”, sementara prefrontal cortex—yang seharusnya menenangkan reaksi—terhambat. Akibatnya, keputusan diambil secara impulsif, tidak rasional.
Daniel Goleman menyatakan, kearifan (wisdom) tidak hanya bergantung pada IQ, tetapi pada kemampuan untuk:
(1) Mengenali emosi diri, menyadari apa yang dirasakan dan penyebabnya.
(2) Mengelola emosi, menenangkan diri saat stres atau marah.
(3) Memotivasi diri, mengarahkan emosi untuk mencapai tujuan.
(4) Empati, memahami emosi orang lain.
(5) Membangun hubungan, komunikasi efektif dan resolusi konflik.
Kearifan hanya milik mereka yang mampu mengendalikan emosi. Individu dengan EQ tinggi mampu menggunakan emosi sebagai panduan, bukan musuh. Seorang pemimpin yang tetap tenang dalam krisis dapat berpikir strategis, sementara yang dikuasai panik mungkin membuat keputusan destruktif.
Penting mengintegrasikan emosi dan rasio. Tanpa olah rasa, otak rasional mudah dikalahkan oleh naluri primitif yang bertujuan untuk bertahan hidup jangka pendek. Kearifan—sebagai hasil dari kematangan psikologis—hanya dimiliki oleh mereka yang mampu mengelola emosi secara sadar, sehingga keputusan diambil bukan berdasarkan ketakutan atau kemarahan, tetapi pertimbangan holistik.