Tukang Jahit

sumber gambar : https://haliyora.id/2020/05/16/cerita-tukang-jahit-dan-penjual-pakaian-menjelang-lebaran-di-tengah-pandemi-corona/

oleh : Hermawan Kertajaya

Seorang teman saya sangat bangga karena dia bisa mengekspor mebel ke Taiwan dalam jumlah besar. Saya pernah diajak jalan-jalan ke pabriknya. Dengan muka berseri-seri, ia menunjukkan tentang proses produksi secara lengkap.

Hebatnya, satu tahun sebelumnya, ia belum tahu apa-apa tentang mebel. Ceritanya, pada suatu hari ia bertemu dengan seorang warga Taiwan, yang kemudian mengajarinya tentang permebelan. Orang Taiwan ini, waktu itu, sedang mengalamai problem besar. Dulu ia bisa membeli kayu log dari Indonesia, tapi  mendadak tidak bisa lagi. Ada larangan ekspor log dari pemerintah Indonesia. Maka, sebuah kerja sama antara warga Taiwan tadi dan kawan saya untuk membuat perusahaan mebel itu jadi klop.

Mulai dari nol sampai mengerti mebel, kawan saya itu diajari oleh orang Taiwan tersebut. Pembagian kerja antarmereka sederhana saja:

“Kamu yang bikin, saya yang jual.”

“Kamu punya kayu, saya punya pasar.”

“Kamu untung, saya pun untung.”

Kerja sama seperti ini kelihatan seperti win-win. Bahkan win-win-win. Mengapa? Pemerintah Indonesia ikut senang: dapaat emplyoment, dapat pajak, dan sebagainya.

Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Ketika saya bertemu kembali dengan teman tersebut, ia sedang gundah. Ia bercerita panjang lebar bahwa janji muluk-muluk partnernya tentang passar yang besar ternyata janji kosong.

Secara legal, ia tidak bisa menuntut apa-apa.. Janji itu tidak tertulis. Susahnya, pada waktu orang Taiwan itu mengalihkan ordernya kepada orang lain, yang bisa memberinya produk yang sama dengan harga lebih murah, teman saya hanya bisa gigit jari. Ia tidak bisa apa-apa karena tidak tahu apa-apa tentang pasar Taiwan.

Kisah klasik seperti ini juga sering kita dengar dari orang-orang yang tidak mengerti tambak tapi ikut ramai-ramai masuk industri tersebut. Setelah melakukan investasi besar-besaran, janji pembelian bisa hilang begitu saja.

Di Bandung, pekan lalu, ketika saya berbicara tentang “Strategic Marketing Plus 2000”, ada orang pengusahan garmen mengeluh tentang pasar di Eropa yang minta produk makin bervariasi dalam jumlah sedikit-sedikit. Ia tidak bisa melayani permintaan semacam itu, karena tidak mendapat dukungan dari pemasok di sana. Pabrik tekstil maunya menjual dalam skala besar. Sedangkan ia harus melayani permintaan dalam skala kecil.

Ketikasaya tanya lebih lanjut, memang benar, pengusaha ini tidak menjual garmennya ke Eropa dengan merek sendiri. Bukan cuma brand yang dipunyai pembeli, melainkan juga desain, warna, dan ukurannya. Jadi, ia benar-benar tukang jahit.

Dari tiga kasus di atas bisa terlihat bahwa peddler is powerful than tailor (penjaja lebih berkuasa dari tukang jahit). Mengapa ? Penjaja tahu persis tentang apa yang diminta konsumen . Ia tahu persis pula  apa yang merupakan jadi value bagi konsumen. Ia bisa mengubah value tersebut menjdai features, yang harus ada di dalam sebuah produk. Dan tinggal minta tukang jahit untuk  membuat produk yang ada features seperti itu.

Kalau permintaan konsumen berubah, penjaja tahu lebih dulu peddlers eat, sleep and dream with the market. Sedangkan tailors eat, sleep dan dream in the factory. Itu bedany. Tukang jahit cuma menguasai bagaimana cara membuat, sedangkan penjaja menguasai lapangan. Walau tukang jahit terus-menerus meningkatkan cara mereka menjahit sehingga produktivitas makin tinggi,  kurang ada gunanya kalu ia tidak  tahu produk apa yang sebenarnya disukai konsumen.

Kisah pahit dari orang-orang yang berjasa dibalik produk ini memang sudah merupakan cerita klasik. Tapi ada beberapa orang yang cukup pintar. Ia berjasa dalam pembuatan suatu produk, tapi tidak mau hanya bersembunyi di balik produk tersebut. Ia ingin tampil juga ke permukaan. Bahkan akhirnya bisa lebih dominan ketimbang pemilik produk.

Bayangkan Nutra Sweet, pemanis buatan untuk orang-orang yang takut pada kalori tinggi. Nutra Sweet tidak mau bersembunyi dalam produk yang menggunakan jasanya, melainkan juga tampil ke atas. Kalau Anda minum Diet Coke yang ada Nutra Sweet di dalamnya juga sadar akan hal tersebut. Mengapa ? Ada logo Nutra Sweet tercantumg di kaleng Diet Coke. Supaya bisa tampil di situ, Nutra Sweet memberikan diskon tertentu pada waktu Coca Cola melakukan pembelian.

Yang lebih hebat lagi adalah Intel. Perusahaan ini adalah pembuat mikroprosesor- jantung komuter apa saja. Barang inilah yang memproses semua data dan mengubahanya menjadi informasi. Barang ini pula yang menentukan sebuah komputer bisa bekerja cepat atau tidak, akurat atau tidak, dan sebagainya. Tahu akan pentingnya peran yang dipunyai, Intel selalu minta pada perusahaan komputer mana pun untuk  mencatumkan kata Intelinside. Apa akibatnya?

Aturan main industri komputer berubah. Dulu, perusahaan hardware yang memegang komando, dan perusahaan software harus menyesuaikan diri dengan perangkat keras. Dan merek micro-processor chip tidak pernah dikenal orang. Sekarang keadaan jadi berbalik. Orang komputer bilang, ada yang disebut Microtel Camp. Microtel adalah kepanjangan dari Microsoft dan Intel. Komputer apa pun mereknya, kalau tidak kompatibel dengan program-program Window, akan sulit dijual. Demikian juga kalu sebuah komputer tidak pakai Intel Chip, orang akan kurang menghargainya.

Dua kasus di industri high-tech ini tidak sama dengan kasus sebelumnya. Tapi ada satu pelajaran yang bisa ditarik. Siapa yang pegang brand, dialah yang lebih dominan.

Dalam kasus mebel, tambak, dan garmen, nilai tambah terbesar diambil oleh yang punya brand dan tahu pasar. Tukang jahit yang hanya tahu produksi, tapi tidak tahu pasar, cuma mendapat nilai tambah relatif kecil. Margin yang diterima pun dibatasi oleh yang punya brand dan tahu pasar.

Bagaimana pula dengan kasus Microtel? Perusahaan pembuat perangkat keras punya brand. Dulu pembuat perangkat lunak dan chip tidak terlalu sadar akan pentingnya brand. Maka, persaingan komputer era dulu adalah peperangan antarperangkat keras.

Al Ries, dalam percakapannya dengan saya di New York, bulan lalu, mengatakan, itulah Perang Dunia Komputer. Hasilnya : IBM diserang Apple, HP, Wang, dan sebagainya. Mainframe lawan PC. Sekarang, kata Ries, industri komputer masuk Perang Dunia II. Mengapa ? Sekarang bukan perangkat keras lawan perangkat keras. Juga bukan hanya terjadi perang antara PC, Laptop, dan Palmtop. Lebih dari itu, IBM dan Apple dipaksa tunduk pada perangkat lunak dan mikroprosesor tertentu. Itu terjadi setelah Window dan Intel sebagai brand punya equity tinggi di mata konsumen.

Untuk memenangkan perang ini, IBM dan Apple, yang dulu musuh bebuyutan, akhirnya terpaksa bekerja sama dalam sebuah proyek utnuk membuat mikroprosesor yang nanti akan dipakai bersama. Apa tumon ? Itu memang harus dilakukan.

Perang kali ini tidak akan mudah dimenangkan oleh kelompok perangkat keras. Baik Bill Gates maupun Andy Groove terus menerus melakukan inovasi utnuk memperkuat brand-equity dari Microsoft dan Intel. Windows 95, walaupun masih ditunda, akan diluncurkan sebagai suatu produk yang hebat. Sedangkan Intel ngotot dapat Pentium yang, walaupun mengalami beberapa masalah, telah selesai disempurnakan. Kalau Microtel masih akan terus dominan, maka merekalah yang akan mengambil bagian margin yang besar.

Ada  sebuah perusahaan sepeda Cina, yang dulu mengekspor sepeda ke Amerrika di bawah brand-name pembeli, sekarang telah berhasil mengekspor dengan brand sendiri. Pemasarannya dilakukan oleh sebuah perusahaan distribusi Amerika, yang juga mereka beli. Pada mulanya memang berat. Tapi sekarang sudah kelihatan hasilnya. Itulah kisah ” tukang jahit ” yang pintar mengubah nasib.